Bisa Naik Haji, Kotoran Sapi Makanan Sehari-hari.

Bagi warga Desa Kaliombo Kecamatan Paninggaran Kabupaten Pekalongan, menghirup bau kotoran sapi merupakan makanan sehari-hari. Namun dari aktivitas itulah mereka bisa naik haji bahkan menyekolahkan anak mereka hingga sarjana.

Selama bertahun-tahun, kualitas daging sapi dari Desa Kaliombo bukan hanya dikecap masyarakat Kabupaten Pekalongan saja. Kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang dan Jakarta merupakan wilayah tujuan terutama ketika lebaran tiba. Namun gaung potensi wilayah berupa penggemukan sapi di desa berudara sejuk itu seperti masih berselimut kabut.

Padahal, di balik rimbunnya pepohonan dan pemandangan alam asri tersebut, populasi sapi justru lebih tinggi daripada jumlah kepala keluarga (KK). Sedikitnya 856 ekor sapi berbagai jenis terselip di antara pemukiman 492 KK.

Kepala Desa Kaliombo, Sudigyo mengatakan, ternak sapi yang dilakoni warga sebenarnya hanya sampingan. Rata-rata, warga bekerja sebagai petani.

"Sebenarnya hanya sampingan rutinitas warga di sela bertani. Jadi pulang bertani sambil bawa pakan ternak untuk sapi," ungkapnya kepada Radar Semarang saat ditemui di Balai Desa setempat.

Namun seiring berjalannya waktu, kesejahteraan yang dicapai warga di perbatasan daerah perbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara itu bisa dikatakan berasal dari usaha penggemukan sapi. "Setiap rumah, minimal memiliki dua ekor hingga lima ekor sapi, bahkan lebih. Jenisnya ada Sapi Carroles, Simental, Limousine dan Jawa Lokal," jelasnya.

Sebelum mendapat perhatian pemerintah, masyarakat setempat bahkan sempat "kolot" dengan tinggal seatap dengan para sapi. Namun kesadaran akan kesehatan serta semakin meningkatnya keamanan menjadikan masyarakat membikin kandang sendiri untuk si sapi. "Dulu masih banyak warga yang seatap dengan sapi, karena takut kalau dicuri. Sekarang sudah pada bikin kandang sendiri," ungkapnya sembari berjalan menuju kandang sapi di tengah perkebunan warga.

Dengan cara tradisional, sapi-sapi anakan yang rata-rata berusia enam bulan kemudian "dimanjakan". Seperti pakan berupa rumput gajah yang didapat langsung dari alam di desa dengan luas wilayah 118,8 hektar tersebut. Setelah gemuk, sapi biasanya dijual setelah dipelihara satu tahun dengan harga antara Rp 20 Rp hingga Rp 40 juta per ekor. Sapi hasil penggemukan di Desa Kaliombo juga rata-rata memiliki berat 4 kwintal.

"Beli anakan sapi itu sekira Rp 10 juta hingga Rp 15 juta. Jualnya, setelah setahun, ada yang harganya 20, 25, 30 dan Rp 40 juta satu ekor," terang Sudigyo.

Masyarakat biasa menjual hasil ternak mereka kepada para pedagang atau tukang jagal. Bahkan, ketika musim lebaran, sapi-sapi dari Kabupaten Pekalongan ini diajak berkunjung ke Jakarta. "Di sini, (Desa Kaliombo, red) ada 11 pedagang. Kalau musim lebaran, sapi-sapi ini didrop ke Jakarta," jelasnya.

Penggemukan sapi yang telah berjalan turun-temurun tersebut, kini kian terorganisir dengan adanya sejumlah kelompok peternak sapi. Berbagai penyuluhan serta bantuan dari pemerintah juga kian bergulir.

Dari hasil ternak sapi tersebut, kesejahteraan masyarakat juga kian meningkat. Mulai dari beli sapi lagi, membangun rumah, memiliki kendaraan, menyekolahkan anak ke jenjang perguruan tinggi hingga naik haji.

Pada 2014, kata dia, telah terdapat 8 orang yang menunaikan ibadah haji. Sedangkan 2015, sedikitnya 12 orang yang telah mendaftarkan diri untuk keberangkatan haji.

"Kalau haji, di sini bahkan ada yang hampir tiga kali naik haji. Sebutannya ya haji sapi. Memang itu dari hasil ternak sapi," ungkapnya sembari tertawa.

Selain itu, tingkat pendidikan warga juga meningkat. Sesuai data desa, pada 1990, rata-rata pendidikan warga hanya Sekolah Dasar. Namun sekarang telah terdapat sekira 20 anak yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. "Sekarang SMP, SMA, SMK, sudah banyak. Anak kuliah ada sekira 20-an, ada beberapa yang sudah lulus," kata Sudigyo yang anaknya juga menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Semarang.

Sebagai pimpinan desa, Sudigyo berharap, potensi pengggemukan sapi tersebut bisa semakin berkembang. Oleh karena itu perhatian pemerintah terutama terkait penggemukan sapi yang tepat sangat penting untuk hasil yang lebih baik. Seperti penyuluhan tentang membikin pakan fermentasi, pengelolaan kotoran serta pemenuhan pakan sapi berupa rumput gajah. Untuk kotoran sapi, kata dia, biasanya langsung digunakan sebagai pupuk tanaman seperti sengon dan ketela. Sebab lokasi kandang sapi rata-rata terletak di kebun.

"Kami juga masih menerima, kalau ada bantuan sapi dari pemerintah. Juga jalan desa yang terkesan mirip 'kali asat' (sungai kering)," cetusnya sambil tersenyum.

Atas usulan warga, kata Sudigyo, sebuah patung sapi direncanakan bakal dibuat sebagai ikon desa.
Lebih baru Lebih lama